Minggu, 30 Desember 2012
Rabu, 05 Desember 2012
Selasa, 27 November 2012
Kisah Nyata "segelas air yang sangat berharga"
Penulis terkenal kebangsaan Mesir yang bernama Mustafa Amin, dimana
beliau adalah salah satu yang dijebloskan ke dalam penjara di masa
pemerintahan Gamal Abdul Naser pada tahun 1965, menceritakan kisahnya
saat berada di dalam penjara.
Ia berkata, “Di antara bentuk penganiayaan yang ditetapkan pemerintah
pada saat itu adalah melarang penghuni penjara makan dan minum.
Larangan untuk makan sangatlah menyakitkan, walaupun masih memungkinkan
untuk bertahan, akan tetapi haus adalah siksaan yang tidak mungkin bisa
ditanggung, khususnya di bulan-bulan musim panas dengan derajat panas
yang tinggi sekali.
Selain itu saya mempunyai penyakit gula, yang mengharuskan saya
banyak minum. Di hari pertama pelarangan ini, saya masuk kamar kecil, di
sana saya mendapatkan tempat air yang berisi air untuk istinja’,
kemudian saya minum air tersebut sampai habis, dan sebagai ganti untuk
istinja’, saya gunakan tissu toilet. Dengan semakin bertambahnya rasa
hausku, saya terpaksa minum air kencing. Sampai di hari ketiga, saya
tidak mendapatkan air kencing untuk saya minum.
Saya sangat haus, saya merasakan siksaan yang sangat pedih. Kemudian,
saya berjalan-jalan di dalam sel saya sehingga nampak seperti orang
gila. Lidah dan tenggorokan saya kering. Terkadang saya menunduk ke
lantai dengan harapan semoga sipir penjara terlupa dan menyisakan
setetes air ketika mereka mengepel lantai!!
Setelah itu saya merasakan bahwa saya hampir binasa, dalam kondisi
seperti itu saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan, saya kuras
pikiranku, sampai saya terhuyung-huyung, ketika itu aku malihat bahwa
pintu sel dibuka dengan perlahan-lahan, dan dalam kegelapan saya
perhatikan ada tangan seseorang mengulurkan segelas air dingin. Saya
tergoncang, terbayang seolah-olah aku telah gila? Aku mulai melihat
bayangan orang itu, ah … tidak mungkin ini air … ini hanyalah
fatamorgana. Kemudian, saya ulurkan tangan dan saya benar-benar
menyentuh gelas tersebut, ternyata sedingin es. Saya melihat pembawa
gelas tadi meletakkan jarinya di atas bibirnya, seolah-olah ia berkata
kepada saya, ‘Janganlah kamu bicara’.
Saya minum air tersebut, akan tetapi ia sangat berbeda dengan air
yang pernah saya minum selama ini, ia adalah air yang paling nikmat yang
pernah saya minum di dalam kehidupan saya sebelumnya. Kalau seandainya
pada waktu itu aku memegang uang satu juta pound (junaih), niscaya aku
berikan kepada sipir yang tidak kukenal ini.
Minum air segelas tersebut membuat ruh saya seakan kembali ke tubuh
dan tidak perlu lagi makan karena kenyang. Bahkan, lebih dari itu, aku
merasa tidak perlu dikeluarkan dari penjara. Saya merasakan kebahagiaan
yang belum pernaha saya rasakan selama hidup saya, semua itu disebabkan
segelas air yang dingin.
Setelah itu, sipir pergi dengan cepat seperti kedatangannya tadi dan
menutup pintu sel dengan perlahan. Saya melihat bayangan sipir, ia
adalah pemuda yang berkulit coklat dan berbadan pendek. Akan tetapi,
saya merasakan ia seperti malaikat. Saya melihat langsung pertolongan
Allah di sel penjara.
Hari yang penuh siksaan terus berjalan, tanpa pernah lagi melihat
sipir yang tidak saya kenal itu. Kemudian, saya dipindahkan ke ruangan
penyiksaan di lantai dasar penjara. Setiap hari melihat sipir yang tidak
saya kenal itu berdiri di hadapan saya. Ketika itu saya hanya berdua.
Saya bertanya dengan perlahan-lahan kepadanya, ‘Kenapa engkau lakukan
perbuatan itu? Kalau mereka mengetahuinya tentu memecatmu’.
Dengan menyunggingkan senyum, ia menjawab, ‘Hanya memecat saya!?
Bahkan, mereka akan membunuh saya dengan menembakkan senjata?’ Saya
bertanya, ‘Apa yang membuatmu melakukan hal yang berbahaya itu?
Ia menjawab, ‘Sesungguhnya saya mengenal anda, namun anda tidak
mengenal saya. Kira-kira 9 tahun yang lalu, seorang petani dari Giza
mengirim surat kepada anda, yang isinya menceritakan bahwa ia adalah
seorang petani yang tinggal di sebuah perkampungan, dalam hidupnya ia
sangat menginginkan membeli seekor sapi. Akan tetapi, setelah 6 bulan
sapi yang berhasil dibelinya tersebut mati. Beberapa bulan setelah itu,
yakni pada malam-malam Lailatul Qadar di bulan Ramadhan, tiba-tiba pintu
rumah yang sempit kepunyaan petani itu diketuk, dan datanglah utusan
dari harian koran anda, Akhbarul Yaum, sambil memegang tali yang
mengikat seekor sapi di belakangnya. Ketika itu koran harian Akbarul
Yaum selalu mewujudkan beratus-ratus impian para pembacanya di
malam-malam Lailatul Qadar di setiap tahunnya’.
Sipir itu terdiam sebentar, kemudian ia berkata, ‘Petani yang telah
Anda kirimi seekor sapi kepadanya 9 tahun yang lalu adalah ayahku’.
Bukankah telah aku katakan kepada kalian tadi bahwa pertolongan Allah menyertaiku saat aku di dalam sel penjara?!
Demikianlah perbuatan baik yang telah dilakukan seorang penulis sejak
9 tahun yang lalu terhadap seorang petani telah membuahkan hasil dan
bisa menyelamatkan hidup sang penulis (dengan izin Allah Subhanahu wa
Ta’ala). Segelas air di saat-saat ujian yang berat sekali lebih berharga
dan lebih nikmat dari segala yang ada didunia. Oleh karena itu,
jadikanlah dalam beramal ikhlas semata-mata karena Allah Ta’ala. Allah
Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut
menolong saudaranya. Menginfakkan harta di jalan kebaikan, pasti akan
mendapatkan balasan walaupun setelah lama berlalu masanya. Terkadang
balasan perbuatan baik itu akan berlipat ganda.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-baqarah:
272, yang artinya: “Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan
(di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Janganlah kamu
membelanjakan sesuatu, melainkan karena mencari keridhaan Allah. Apa
saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi
pahalanya dengan cukup, sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya
(dirugikan). ”
Sumber: Bila Amal Dibayar Kontan, Terjemahan: Kama Tadinu
Tudanu,Sayyid Abdullah Sayyid Abdurrahman Ar-Rifa’i Abu Hasyim, Penerbit
Darul Falah.
Artikel: www.kisahislam.net
Sabtu, 24 November 2012
Berani dan Percaya diri
Iman yang benar dalam dada seorang muslim akan menghasilkan keteguhan dan keberanian yang luar biasa. Sebab, seorang muslim, setelah mengetahui dan memahami firman Allah SWT :
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal."(QS. At Taubah 51).
Dia akan beriman bahwa apa yang ditetapkan oleh Allah SWT niscaya akan menimpanya, yang baik maupun yang buruk. Sehingga dia akan menceburkan diri dalam medan kehidupan bahkan medan perang sekalipun dengan penuh keberanian. Dia tidak gentar pada apapun dan siapapun, selain kepada Allah SWT. Terlebih lagi jika seorang muslim mengerti dan memahami sabda Rasulullah saw:
“Tidaklah mati seseorang sampai dipenuhi ajalnya, rizki, dan apa yang ditakdirkan baginya”.
Imam Al Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya tentang Surat At Taubah ayat 51 tersebut sebagai berikut: dikatakan bahwa ketetapan Allah SWT itu ada di Lauhul Mahfuzh. Juga dikatakan bahwa apa yang Allah kabarkan kepada kita ada di dalam ketetapan-Nya (Lauhul Mahfuzh) , baik itu kita bakal mendapatkan kemenangan, dan kemenangan itu baik buat kita, maupun kita bakal terbunuh, dan mati syahid itu jauh lebih baik bagi kita. Pada segala sesuatu pasti ada ketentuan Allah. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelasakan bahwa dalam ayat ini Allah SWT memberi petunjuk tentang cara menjawab pernyataan musuh-musuh kaum muslimin. Katakanlah kepada mereka: “Tidak akan menimpa kepada kami kecuali apa yang Allah tetapkan buat kami. Kami di bawah kehendak dan ketentuan Allah. Dialah pemimpin dan pelindung kami. Dan kami pasrah diri kepada-Nya. Cukuplah Dia menjadi penolong kami dan Dia adalah sebaik-baik pelindung”.
Keyakinan tentang takdir Allah SWT dan kedekatan seorang muslim dengan Rabb-nya akan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi sikap tegar dan berani mengahadapi segala tantangan hidup. Secara kolektif, kaum muslimin adalah kaum yang tegar menghadapi gertakan dan ancaman lawan. Allah SWT mengabadikan sifat mereka dalam firman-Nya:
(Yaitu) orang-orang (yang menta`ati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung."(QS. Ali Imran 173).
Gertakan dan intimidasi manusia malah menambah keimanan kaum muslimin, yaitu semakin yakin dan membenarkan Islam, agama yang mereka peluk, semakin yakin akan datangnya pertolongan Allah kepada mereka, dan semakin menambah kekuatan, keberanian, dan kesiapan mereka dalam perjuangan di jalan Allah. Iman itulah yang memberikan kekuatan spiritual (al quwwah ar ruhiyah) kepada kaum muslimin sehingga berani mengahapi lawan betapapun besarnya pasukan musuh. Ketika kaum muslimin di Madinah dikepung pasukan sekutu dalam perang Ahzab, mereka tegar menghadapi serbuan dan kepungan itu dan telah mempersiapkannya dengan membuat pertahanan parit (khandaq) di sekeliling kota Madinah, khususnya di bagian utara yang datar. Allah SWT menggambarkan ketegaran mereka dalam firman-Nya:
Dan tatkala orang-orang mu'min melihat golongan-golongan yang bersekutu itu (pasukan Ahzab) , mereka berkata: "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita". Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan”.(QS. Al Ahzab 22).
Keimanan itulah yang membuat 3000 pasukan kaum muslimin berani menghadapi 200 ribu pasukan gabungan Rumawi di Mu’tah. Jelas sekali sifat keberanian itu dalam ucapan Abdullah bin Rawahah, salah seorang panglima perang kaum muslimin dalam perang Mu’tah itu: “Wahai kaum muslimin, sesungguhnya yang hendak kalian hindari justru adalah mencari syahadah (mati syahid), kita tidak memerangi manusia dengan jumlah personil, juga tidak memerangi mereka dengan kekuatan dan banyaknya pasukan yang kita miliki, kita tidak memerangi mereka melainkan dengan agama yang dengannya Allah telah memuliakan kita. Maka berangkatlah, sesungguhnya hasil dari perang ini hanyalah satu di antara dua kebaikan. Menang atau mati syahid!” (lihat Ibnu Katsir, Al Bidayah wa An Nihayah, Juz III/428).
Jelas bahwa keberanian yang muncul dalam diri pasukan kaum muslimin, sekalipun harus menanggung resiko kematian, merupakan bekas dari keimanan mereka. Kuatnya keyakinan serta lurusnya sikap hidup dan motivasi diri mereka menghasilkan keberanian yang luar biasa. Mereka berperang bukan untuk menzalimi, membunuh, dan memusnahkan manusia. Bukan pula untuk merampas harta kekayaan dan tanah air bangsa lain serta memperbudak mereka. Tetapi mereka berperang untuk menjaga kemuliaan agama Allah SWT, Tuhan seluruh umat manusia. Mereka berperang untuk melindungi keberlangsungan dakwah Rasulullah saw., rasul untuk seluruh umat manusia, rahmat bagi seluruh alam. Dan mereka faham sekali bahwa perjuangan suci itu tidak pernah rugi. Maka wajarlah dari hati mereka tumbuh sifat perwira dan berani.
Keyakinan akan kemuliaan dan keluhuran Islam itulah yang membuat Rasulullah saw. memiliki keberanian dan rasa percaya diri untuk menulis surat dan mengirim utusan kepada penguasa Rumawi, Kisra, dan penguasa dunia lainnya, mengajak mereka masuk ke dalam kemuliaan Islam. Lihatlah surat Rasulullah saw. kepada Heraklius, penguasa Rumawi: “Bismillahirrahmanirrahiim. Dari Muhammad hamba Allah dan rasul-Nya kepada Heraklius, pembesar Rumawi. Semoga keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk (hidayah), amma ba’du. Sesungguhnya aku mengajakmu dengan ajakan islam, masuk Islamlah. Engkau akan selamat. Allah akan memberikan kepadamu dua pahala. Namun jika engkau menolak, maka engkau harus menanggung dosa rakyatmu (orang-orang yarisyiyin). Wahai ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)"(HR.Bukhari).
Sebelum terjadinya pertempuran dalam perang Qadisiyah tiga orang utusan kaum muslimin bertemu dengan Panglima Rustum, Panglima negara Persia. Rustum bertanya kepada mereka: “Apa yang membuat kalian datang ke sini?” Utusan kaum muslimin itu menjawab: “Sesungguhnya Allah telah mengutus kami untuk membebaskan siapa saja –yang ingin—dari perbudakan manusia agar menghamba kepada Allah Yang Esa, dan dari kesempitan dunia kepada keluasannya, dan daripada penyimpangan semua agama (din) kepada keadilan Islam. Maka Allah telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa din-Nya, kepada seluruh makhluq-Nya. Maka siapa saja yang menerima din ini dari kami, akan kami terima dirinya dan kami akan kembali daripadanya, dan kami akan meninggalkan dia dengan tanah airnya. Akan tetapi, siapa yang menolak akan kami perangi sampai kami masuk surga atau mendapat kemenangan”.
Dengan kejelasan visi dan misi hidup itulah kaum muslimin memiliki sifat keberanian menghadapi segala macam bangsa demi menyampaikan Islam kepada mereka. Keberanian mereka tidak dalam kerangka anarkis, tapi senantiasa disertai kesadaran hukum dan moralitas yang tinggi. Diriwayatkan bahwa dalam perang Khandaq (Ahzab) ada seornag jagoan Quraisy menantang duel kepada pasukan kaum muslimin. Ali minta izin Rasulullah saw. untuk melayani. Beliau mencegahnya seraya berkata: “Duduklah kamu sebaba orang itu adalah Amru bin Abdud”. Setelah meminta izin tiga kali barulah Rasulullah saw. mengizinkan Ali berduel melawan Amru. Setelah melihat yang datang Ali, Amru mengatakan: “Datangkan seorang yang lebih tua, aku tak tega menumpahkan darahmu”. Tapi Ali menjawab: “Sebaliknya aku tega menumpahkan darahmu”. Mendengar itu Amru turun dari kudanya dan langsung memukulkan pedangnya ke Ali hingga memecahkan perisainya dan ia terluka di kepala. Ali membalas pukulan dengan pedangnya hingga Amru mati terbelah. Kaum muslimin pun bertakbir. Setelah itu Ali menghadap Rasulullah saw. Saat itu Umar bertanya: “Mengapa baju besinya tidak anda rampas, baju besinya bagus sekali?”. Ali menjawab: “Ketika Amru kupukul, auratnya terbuka sehingga aku malu melihatnya dan aku malu merampasnya”. (lihat Al Bidayah wan Nihayah, Juz 4/106). Dalam perang Uhud Rasulullah saw. pernah memberikan pedang beliau kepada Abu Dujanah dengan pesan agar digunakan sesuai dengan haknya. Maka Abu Dujanah menggunakan pedang itu untuk menghantam setiap musuh di hadapannya. Pedang itulah yang merobohkan seorang Quraisy yang suka mencincang kaum muslimin. Dan pedang itulah yang hampir membabat kepala Hindun bin Utbah, istri Abu Sufyan. Sabetan pedang itu diurungkan oleh Abu Dujanah setelah diketahui bahwa sasarannya adalah wanita” (Al Bidayah, Juz 4/16).
Kekuatan iman, keberanian, disiplin, dan moralitas yang tinggilah yang membuat pasukan kaum muslimin menjadi terkenal sebagai pasukan tak terkalahkan. Kaisar Heraclius yang merasa keheranan pasukannya yang besar dipukul mundur oleh kaum muslimin bertanya kepada para pembesarnya: “Celakalah kalian, kabarkanlah kepadaku tentang mereka (kaum muslimin) yang memerangi kalian itu, bukankah mereka itu manusia seperti kalian? Mereka menjawab: Benar. Kaisar berkata lagi: Mana yang lebih banyak, jumlah kalian ataukan jumlah mereka? Mereka menjawab: Jumlah kami lebih banyak di seluruh medan tempur. Lalu Kaisar bertanya: Lalu bagaimana kalian bisa kalah? Maka seorang tua dari kalangan pembesar mereka menjawab: Karena sesungguhnya mereka (pasukan Islam) itu mengerjakan sholat di waktu malam, berpuasa di siang hari, dan mereka menepati janji, memerintah yang makruf, dan mencegah yang mungkar, dan saling membagi di antara mereka (tidak saling mementingkan diri). Sedangkan kita kalah karena sesungguhnya kita gemar minum minuman keras, berzina, melakukan yang haram, melanggar janji, gampang marah, zalim, memerintah dengan kekerasan (represif), mencegah dari apa yang Allah ridlai serta berbuat kerusakan di muka bumi. Maka Kaisar pun berkata: “Engkau membuatku percaya—bahwa kita memang pantas untuk kalah” (lihat Nasution, Kedudukan Militer dalam Islam, hal 44).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Kaisar Heraklius pernah bertanya kepada salah seorang prajurit Rumawi yang pernah ditawan oleh kaum muslimin: “Ceritakanlah padaku tentang mereka (pasukan Islam)” Maka prajurit itu menjawab: “Diwaktu siang mereka adalah pasukan berkuda yang hebat, dan di malam hari mereka menjadi pendeta. Mereka tidak pernah makan dari orang-orang tanggungan mereka (kafir dzimmi) melainkan dengan membayar. Mereka tidak memasuki suatu daerah kecuali dengan membawa kesejahteraan, mereka selalu berdiri dengan mantap menghadapi siapa saja yang memerangi mereka sampai mereka datang di hadapan orang itu”. Maka Kaisar berkata: “Sesungguhnya engkau telah meyakinkan aku bahwa mereka akan merebut dan menguasai tempat berpijak dua telapak kakiku”.
Dengan meneladani sifat keberanian dan percaya diri kaum muslimin terdahulu itulah kaum muslimin hari ini akan menang!
Langganan:
Postingan (Atom)